Mengenai Saya

Foto saya
bayu adalah seorang yang sangat menyukai suatu tantangan tertentu, tapi terkadang malas, wlopun begitu saat bayu punya suatu tekad, dia akan menjalankannya dg 100% dan dg semangad membara......

Sabtu, 26 Desember 2009

ABORTUS

Created by: Putri Amalia

Bab I Ilustrasi Kasus (Kasus sesuai dengan fakta 2005-2009)
Seorang anak perempuan berumur 13 tahun yang duduk di kelas 1 SMP hamil hampir 1 bulan karena diperkosa. Korb9ian mengalami depresi dan orangtua menginginkan kehamilan digugurkan. Setelah berkonsultasi ke dokter, dokter menyanggupi untuk melaksanakan praktik aborsi setelah mempertimbangkan aspek profesionalisme. Namun, orangtua masih bingung karena menurut mereka, agama dan hukum melarang aborsi.
Oleh karena itu, dalam laporan ini akan dibahas bagaimana aborsi ditinjau dari sudut pandang kode etik kedokteran, sumpah dokter, segi disiplin, hukum dan agama. Pemahaman tentang kasus aborsi sangat penting bagi mahasiswa calon dokter agar dalam menghadapi profesinya sebagai dokter nanti dapat bertindak secara profesional dalam menghadapi kasuskasus sulit.

Bab II Isi (minimal 6 halaman)
a. Fakta Biomedis
Aborsi merupakan pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterus sebelum fetus dimungkinkan untuk hidup, yaitu fetus dengan berat kurang dari 500 gram dan usia kurang dari 20 minggu (Dorland, 2006: 5-6).
Definisi dari aborsi adalah adanya perdarahan dari dalam rahim perempuan hamil di mana karena sesuatu sebab, maka kehamilan tersebut gugur dan keluar dari dalam rahim bersama dengan darah, atau berakhirnya suatu kehamilan sebelum anak berusia 22 minggu atau belum dapat hidup di dunia luar. Biasanya disertai dengan rasa sakit di perut bawah seperti diremas-remas & perih (Billy N. ,2008).
Aborsi bisa juga diartikan dengan berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan, dimana beratnya masih dibawah 500 gram atau sebelum usia kehamilan 20 minggu. (BKKBN)

b. Fakta Bioetika
Profesi dokter sering dihadapkan dengan masalah aborsi. Pengetahuan dan ketrampilan menerapkan aspek etika, hukum, dan disiplin kedokteran dalam perilaku seorang dokter menunjukkan kemampuan profesionalnya. Dokter tidak hanya harus mampu dalam hal disiplin ilmu kedokteran saja, tetapi juga harus mampu dengan tepat mempertimbangkan aspek etika dan hukum di dalam menghadapi setiap kasus, termasuk ketika menghadapi kasus aborsi.
Dalam pasal 7d : “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insan.” Kadang-kadang dokter terpaksa harus melakukan operasi atau cara pengobatan tertentu yang membahayakan. Hal ini dapat dilakukan asal tindakan ini diambil setelah mempertimbangkan masak-masak bahwa tidak ada jalan atau cara lain untuk menyelamatkan jiwa selain pembedahan. Sebelum operasi dimulai, perlu dibuat persetujuan tertulis lebih dahulu atau dari keluarga (informed consent). Sesuai peraturan Menteri Kesehatan tentang Informed consent, batas umur yang dapat memberi Informad consent adalah 18 tahun.
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan seseorang yang pada suatu waktu akan menemui ajalnya. Tidak seorang dokterpun, betapapun pintarnya akan dapat mencegahnya. Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua usaha tersebut merupaka tugas seorang dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa baik menurut agama, Undang-Undang Negara, maupun etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan :
a) Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
b) Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut Ilmu pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Keputusan untuk melakukan abortus therapeuticus harus dibuat oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dan wanita hamil yang bersangkutan, suaminya dan atau keluarganaya yang terdekat. Hendaknya dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk melakukannya.
Dalam bunyi sumpah dokter juga disebutkan bahwa “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”, “Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hokum Perikemanusiaan.”

c. Fakta Hukum
Aborsi merupakan salah satu topik yang selalu hangat diperbincangkan diberbagai kalangan masyarakat. Masih banyak tanggapan yang berbedabeda tentang aborsi. Para ahli agama, ahli kesehatan, ahli hukum, dan ahli sosio-ekonomi memberikan pernyataan masing-masing, ada yang mendukung, abstain, dan menolak.
Dalam hukum di Indonesia, ketentuan yang mengatur masalah aborsi terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan di dalam KUHP yang mengatur masalah tindak pindana aborsi terdapat di dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349.
 Pasal 299 KUHP : Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
 Pasal 346 KUHP : Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
 Pasal 347 KUHP : (1)Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun.
 Pasal 348 KUHP : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara tujuh tahun.
 Pasal 349 KUHP : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah untuk dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pada UU no.23 tahun1992 pasal 15 : (1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan : a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tertentu, b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu & dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, d. Pada sarana kesehatan tertentu (Hukumkes, 2008).

d. Fakta Hukum Islam
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005, tentang Aborsi menetapkan ketentuan hukum Aborsi sebagai berikut :
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati. Sedangkan Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:
- Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
- Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:
- Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
- Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina. Dalam hukum Islam terdapat perbedaan pendapat tentang aborsi sebelum ditiupkannya ruh. Dalam madzhab hanafi, misalnya ibn Abidin membolehkan aborsi dengan alasan pembenar sampai habisnya bulan keempat, demikian juga di kalangan madzhab Syafi’i, Muhammad Ramli membolehkan dengan alas an belum adanya makhluk yang bernyawa. Sedang pendapat yang melarang walaupun sebelum ditiupkannya ruh di antaranya Imam Al Ghazali dan Imam Malik (Ahmad Syafiuddin, 2002).

Bab III Pembahasan
Dalam membahas kasus diatas, terdapat dua pendapat mengenai boleh tidaknya dilakukan aborsi. Setiap pendapat memiliki alasan dan dasar yang kuat mengenai pendapatnya.
Pendapat yang kontra (tidak setuju) terhadap dilakukannya aborsi adalah berdasarkan pada:
1. Menurut sudut pandang Etika kedokteran
Dalam pasal 7d disebutkan, ‘Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk hidup insani’. Maka, dalam praktiknya, dokter hendaknya melindungi setiap insan mulai dari dalam kandungan. Seperti yang disebutkan dalam kajian pustaka sebelumnya, aborsi hanya dapat dilakukan jika terdapat resiko kesehatan yang nantinya akan membahayakan hidup ibunya. Sedangkan dalam kasus skenario satu, alasan dilakukannya aborsi hanya berdasarkan atas depresi si anak dan karena anak tersebut merupakan korban perkosaan.
Dalam penjelasan kode etik kedokteran pun , dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa baik menurut agama, Undang-undang Negara, maupun kode etika kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan (abortus provocatus). Keputusan untuk melakukan abotus provocatus pun harus dibuat oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil yang bersangkutan, suaminya, dan atau keluarganya yang terdekat. Sedangkan dalam kasus diatas, keinginan aborsi merupakan keinginan orang tua, belum ada persetujuan dari wanita yang bersangkutan, terlebih lagi dari segi orangtua pun, mereka masih ragu apakah ingin melakukan aborsi atau tidak.

2. Menurut sudut pandang sumpah dokter
Bunyi dari sumpah dokter salah satunya iyalah “Saya bersumpah/ berjanji bahwa saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”. Dari kalimat tersebut dengan jelas dapat disimpulkan bahwa sebagai dokter berkewajiban menghormati insan sejak awal pembuahan dalam rahim, dan tidak memiliki hak untuk menjadikannya gugur secara sengaja baik sebelum 40 hari maupun sesudah 40 hari. Hal tersebut sama saja tidak mencerminkan perikemanusiaan, karena dalam sumpah dokter dikatakan bahwa seorang dokter bersumpah akan membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan.

3. Menurut sudut pandang hokum negara Indonesia
Dalam undang-undang KUHP, hukum di Indonesia tidak ada yang melegalkan kasus aborsi. Hukum tentang aborsi tercantum pada pasal 299, 341 hingga pasal 349. Pada pasal 346 KUHP menegaskan bahwa seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam penjara paling lama tujuh tahun. Dalam pasal 347 dan 348, aborsi yang dilakukan baik dengan persetujuan maupun tidak persetujuan tidak diizinkan, dan mendapat sanksi pidana yang berat hingga tujuh tahun. Berdasarkan aturan dalam KUHP terlihat jelas bahwa tindak aborsi merupakan tindak melanggar hukum, dengan alasan apapun.
Dalam undang-undang yang lain, misalnya pada pasal 15 ayat 1 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Namun keadaan darurat dalam upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Sedangkan apa yang dimaksud ‘tindakan medis tertentu’ tidak dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Sehingga menimbulkan multiinterpretasi. Dalam penjelasan UU ayat 2 butir a, indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu. Sebab, tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut. Sedangkan dalam scenario ini, tidak disebutkan suatu gejala atau indikasi medis tertentu yang membahayakan dalam diri korban perkosaan, dan hanya berupa masalah psikologis. Sehingga sebenarnya masih ada cara lain untuk menyelesaikan masalah ini tanpa melakukan aborsi. Selain itu, jika melakukan tindakan medis tertentu, hal tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu (Jusuf Hanafiah, 1999). Sedangkan dalam skenario pun belum ada koordinasi yang jelas antara ibu hamil dan orangtua yang masih bimbang dengan tim dokter.
Di sisi lain, kebimbangan orangtua tersebut merupakan hal yang wajar. Sebab, belum ada payung hukum yang jelas untuk melegalkan tindak aborsi dengan dasar perkosaan. Mereka khawatir akan ikut terjerat kasus hukum karena apabila aborsi dalam kasus ini tidak bisa dibenarkan, maka sesuai KUHP, yang akan terkena hukuman tidak hanya tim dokter, tetapi juga korban dan atau orang tuanya yang menyuruh untuk dilakukan aborsi.

4. Menurut sudut pandang hukum Islam
Dalam agama Islam bila alasannya karena indikasi medis yang kuat di mana aborsi hanya satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa ibu, sebagian besar ulama membolehkan karena dharurat, itupun masih dibatasi waktu dan syarat lain. Sedangkan bila aborsi akibat perkosaan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian membolehkan dengan syarat-syarat sangat ketat dan sebagian tidak memperbolehkan.
"Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin." Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan, bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur yang muktabar (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin kuat, karena itu tidak boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran yang ditetapkan ahli fiqih. Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah kehamilan berusia seratus dua puluh hari, yang oleh hadits diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh." Dalam hal ini tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali dalam keadaan benar-benar sangat darurat, dengan syarat kedaruratan yang pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya. Maka bagi wanita muslimah yang mendapatkan cobaan dengan musibah seperti ini (perkosaan) hendaklah memelihara janin tersebut sebab menurut syara', dia tidak menanggung dosa dan ia tidak dipaksa untuk menggugurkannya (Qardhawi, 2006).
Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari berkata "Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini terlarang, maka itulah yang lebih layak dan orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl. Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan sebelum terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab kehidupan (anak)." (Qardhawi, 2006)
Akan tetapi, bila kita telusuri lebih lanjut pendapat-pendapat asli dari kitab-kitab yang ditulis ulama tersebut bukan hanya dari situs-situs di internet yang sebagian besar hanya kalimat redaksi, tidak mencantumkan kalimat-kalimat asli dan ulasan-ulasan yang mendalam dari ulama tersebut-- ulama-ulama yang memperbolehkan pun selain memperbolehkannya dengan syarat-syarat sangat ketat, mereka juga lebih menyukai bila tidak dilakukan aborsi kecuali bila benar-benar terpaksa untuk menyelamatkan ibu, dan alasan yang diberikan oleh medis harus benar-benar akurat, tidak sekedar prediksi dokter atau tim medis yang lain karena hukum asal aborsi adalah haram (Qardhawi, ). Selain itu, Islam juga mengenal istilah syubhat, yakni sesuatu yang diragukan status hukum halal atau haramnya. Bila menjumpai hal yang syubhat, maka bagi umat Islam, lebih baik menjauhinya (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Dalam kasus ini, alasan utama akan dilaksanakannya aborsi adalah alasan psikologis yang dimungkinkan bisa berdampak buruk pada kesehatan ibu, bukan karena suatu kondisi kesehatan yang sangat gawat, sehingga hal ini sangat meragukan untuk dikatakan sebagai keadaan yang darurat. Ditambah lagi hal tersebut barulah sebatas prediksi dari tim dokter. Apalagi orang tua masih bingung untuk melakukan aborsi, di mana salah satu ganjalannya adalah karena menurutnya agama tidak memperbolehkan. Maka bisa jadi orang tua tersebut memiliki pendapat atau mengikuti pemikiran ahli agama yang pendapatnya berbeda dari pendapat ahli agama dalam tim. Hal ini sah-sah saja dan sangat biasa terjadi di dalam masyarakat.

Kasus aborsi ini ada juga pro (diperbolehkan) dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Gadis masih berusia 13 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dari BKKBN, apabila kehamilan di bawah 20 tahun bisa menimbulkan berbagai resiko kehamilan. Ibu muda pada waktu hamil kurang memperhatikan kehamilannya termasuk kontrol kehamilan. Selain itu, ibu muda pada waktu hamil sering mengalami ketidakteraturan tekanan darah yang dapat berdampak pada keracunan kehamilan serta kekejangan yang berakibat pada kematian yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu. Penelitian juga memperlihatkan bahwa kehamilan usia muda (di bawah 20 tahun) sering kali berkaitan dengan munculnya kanker rahim. Sebagaimana kita ketahui kanker rahim dapat mengancam jiwa sehingga menimbulkan kematian. Semua resiko tersebut mengindikasikan bahwa bila kehamilan tersebut dilanjutkan justru akan mengancam jiwa ibu (adanya indikasi medis). Sebagaimana disebutkan dalam UU no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dalam pasal 15 dijelaskan bahwa tenaga kesehatan dapat melakukan tindakan medis dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan ibu atau janin atas pertimbangan tim ahli medis dan dengan persetujuan ibu hamil dan keluarganya. Maka dalam kasus ini aborsi diperbolehkan.
2. Dari segi agama Islam, fatwa MUI no. 4 tahun 2005 menyatakan bahwa perempuan yang hamil akibat diperkosa boleh melakukan aborsi. Hal ini dilandasi pemikiran munculnya kekhawatiran terhadap masa depan anak hasil perkosaan. Di antaranya, kekhawatiran munculnya penderitaan yang akan ditanggung anak tersebut. MUI juga menetapkan syarat bahwa aborsi hanya diijinkan bila usia janin dalam kandungan masih belum mencapai 40 hari karena dalam kurun waktu tersebut diyakini bahwa janin belum mempunyai ruh. Karena dalam kasus ini umur kehamilan gadis belum mencapai 40 hari, maka aborsi diperbolehkan, namun setelah ada keputusan dari sebuah tim yang melibatkan pihak keluarga, dokter, dan ahli agama.
3. Korban dalam keadaan depresi. Apabila kehamilan dilanjutkan justru dapat memperparah keadaan psikologi korban. Korban merasa belum siap mempunyai anak dan tidak kuat menanggung malu akibat kehamilannya itu. Korban juga akan sulit dalam memberikan kasih sayang yang tulus kepada anak yang akan dilahirkannya nanti karena merupakan hasil kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga dapat menyebabkan masa depan anak kemungkinan besar bisa terlantar. Selain itu, masa depan sang Ibu bisa saja terputus karena belum tercapainya suatu kematangan mental dan sosial dalam menanggung permasalahan yang sebenarnya belum dapat ditanggung oleh gadis dalam usia 13 tahun. Sehingga, jalan keluar untuk mengurangi depresi korban adalah dengan tindakan aborsi. Adapun sebelum dan setelah aborsi korban akan didampingi oleh psikiater sehingga kondisi psikologis korban tetap stabil dan tidak mengalami goncangan sehingga korban tidak terbebani oleh aborsi tersebut.
4. Dokter telah berkerja dalam tim yang di mana di dalam tim tersebut terdiri atas dokter, ahli agama, dan psikiater. Mereka memutuskan untuk melakukan aborsi setelah mempertimbangkan aspek profesionalisme. Apabila tim sudah mempertimbangkan seperti itu, maka keputusan yang diambil tim pasti sudah memperhatikan dan menimbang dari aspek etika, hukum, dan disiplin kedokteran dengan sebaik-baiknya. Sehingga, keputusan tim dokter untuk melakukan aborsi dapat dipertimbangkan oleh keluarga sebagai jalan yang terbaik bagi sang korban.
5. Dari segi Kode Etik Kedokteran Indonesia, menurut pasal 7c bahwa “Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien”. Dalam hal ini perlu digarisbawahi mengenai menghormati hak-hak pasien yang mana meskipun orangtualah yang meminta adanya aborsi, tetapi perlu diingat bahwa korban merupakan gadis SMP kelas 1 berusia 13 tahun dan belum dapat menentukan keputusan yang tepat karena berdasarkan WHO usia 15-24 tahun merupakan dewasa muda (youth) dan penduduk muda (young people) bagi mereka yang berusia 10-24 tahun. Oleh karena itu, keputusan berada ditangan orangtua sepenuhnya dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan bagi sang korban dan anaknya. Dokter dalam hal ini berkewajiban memberikan keterangan selengkapnya dan sebenarnya bagi orangtua bahwa aborsi yang akan dilakukan telah dipertimbangkan secara matang bersama ahli agama dan psikiater serta dengan mempertimbangkan aspek profesionalisme bahwa aborsi merupakan keputusan yang terbaik bagi sang korban.



Terlepas dari pro ataupun kontra dalam pelaksaan tindak aborsi ini, saat ini belum dapat diputuskan secara pasti mengingat bahwa dalam menentukan suatu keputusan, harus ditinjau pula keadaan pasiennya, serta mempertimbangkan hasil inform consent (kontrak persetujuan) dari pihak keluarga untuk menyatakan persetujuan atas tindakan medis tertentu.



Bab IV Kesimpulan
1. Adanya pro dan kontra dalam pengambilan keputusan tindakan aborsi pada kasus ini dikarenakan perbedaan pandangan dalam melihat berbagai aspek, baik hukum, agama dan kode etik kedokteran.
2. Hasil keputusan tim dokter seharusnya menunggu kepastian dari orang tua yang bersangkutan, karena dalam kasus aborsi, dikatakan bahwa tanpa persetujuan orang tua, aborsi tidak dapat dilakukan apapun alasannya. Sehingga dalam hal ini belum dapat diputuskan akan dilakukan aborsi atau tidak, mengingat belum ada keputusan pasti dari orangtua.

Daftar Pustaka
Anonim. 2004. Hukum dan Aborsi. http: // www.a borsi.org . (13 Oktober 2009)

Billy N. 2008. Aborsi Menurut Hukum di Indonesia.
http://www.hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aborsi-menurut-hukumdi-indonesia/
(13 Oktober 2009).

BKKBN. 2005. Tanya Jawab Kesehatan Reproduksi Remaja. http://www.bkkbn.go.id.
(14 Oktober 2009).

Blofied, Marike Helena. 2006. The politics of Moral Sin. Kansas: Rodledge.

Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir. 1999. Reproduksi Manusia. Dalam: Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, p.94-96. 1999. Lafal Sumpah Dokter. Dalam: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, p.8-10.

Hanafiah, M. Jusuf. 1999. Seminar etika Profesi dalam Kesehatan Reproduksi,
Semarang : Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (PIT-POGI XI)

Idris, Fahmi. 2009. Kontroversi Aborsi.
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/03/04/brk,20090304-163103,id.html.
(11 Oktober 2009)

MKEK IDI. 2004. Kode Etik Kedokteran dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. http://library.usu.ac.id. (11 Oktober 2009).

Moeljatno. 2003. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Bumi Aksara. p.94-98

PPI India. 2005. MUI Izinkan Aborsi Akibat Perkosaan.
http://www.republika.co.id/detail.asp?katakunci=aborsi&id=215416. (14 Oktober 2009).

Qardhawi, Yusuf. 2006. Resiko bila memilih aborsi. Fatwa-Fatwa Kontemporer,
Jakarta: Gema Insani Press. Diambil dari:
http://dokteriwanmenjawab.blogspot.com/2007/08/resiko-bila-memilihaborsi.html.
(14 Oktober 2009)

Shalih, Syaikh. 2009. Panduan Fiqih Praktis bagi Wanita. Jakarta: Pustaka Sumayyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar